Sok banget atuh judulnya, “keminggris”..
Ya sudahlah, mari dibaca dulu aja, barangkali nyambung.
…
Dari ratusan, ribuan kata, belum afdhol rasanya kalau sampai
hari ini belum ada tulisan di blog yang bercerita, berkeluh kesah, bersuka ria,
tentang ibunya anak-anak yang juga berkarir merangkap menjadi istri saya, perkenalkan
Ferawati Dwiningrum.
Gadis Klaten, yang sudah lahir ke dunia ini dengan sehat wal
‘afiat (alhamdulillah) lebih dari seperempat abad yang lalu, dan pada akhirnya telah
memutuskan untuk duduk disamping saya berpadu rindu, berjanji tuk setia selalu.
Sebenarnya tidak melulu tepat juga jika istri saya dibilang sebagai
gadis klaten, mungkin lebih tepat dibilang numpang lahir saja :D. Mari kita
kilas balik sebentar, jauh bertahun-tahun sebelumnya bapak mertua saya (baca:
bapaknya istri saya) memilih untuk melakukan urbanisasi ke Kota Jogja demi kelayakan
hidup yang lebih baik, pilihan yang cukup beresiko, tidak seperti
saudara-saudaranya yang cenderung memilih untuk menetap atau justru melenggang
ke Ibukota. Beliau berkecimpung di dunia administratif kesehatan negara,
“melayani” rakyat Jogja, berniat tulus ikhlas untuk membantu sesama, berusaha
sebaik mungkin agar masyarakat mendapatkan apa yang menjadi haknya, sungguh
mulia kan? Mari ucapkan aamiin bersama-sama agar semua aparatur sipil negara
bertindak seperti itu, jangan malah jadinya ngeribetin ya :)
Nah, simpulan cerita barusan adalah sebenarnya istri saya
adalah wong jogja. Masa sekolah dihabiskan di kota istimewa ini, setelah tentu
saja semenjak 2014 daku boyong dirinya ke Surabaya, sebagai wujud tanggung
jawab seiya sekata ikrar terucap sepenuh jiwa. Dan… ya, ia percaya.
Melihat narasi tentang istri saya tadi, jadi semacam ada
yang nyambung. Istilah kata, ada silver
lining nya. Sebagaimana saya yang sebenarnya pada saat itu berdomisili di
Bantul, tapi bapak minta saya untuk tetap sekolah di Kota Jogja. Ya, bisa jadi
karena “polah” para bapak ini sehingga saya dan istri saya bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar