Selasa, 28 Februari 2023

Tidak pernah hilang

Mungkin akan banyak istilah-istilah yang saya gunakan saat SMA yang tidak akan saya jelaskan secara umum pada tulisan ini, biarlah tulisan ini hanya menjadi konsumsi kami-kami saja yang faham. Terutama buat istri saya, ya mungkin istri saya akan sedikit marah setelah baca, "kok gini, harusnya kan gini, mesti lali" atau "oo..jebule ngono to" atau apapunlah reaksinya. Tapi ngga papa, tulisan ini ada untuk mendokumentasikan…beberapa kisah sebelum Makan Jeko di Mekdi.

===

"Sopo Mul sik dadi Bendahara seko kelas X?"

"Fera"


Tahun 2006, tahun dimana pertama kali kita bertemu secara official, saya kelas XI (baca: 2 SMA) saat itu diberi mandat oleh Mitramuda II yang menjabat sebagai Ketua Umum PTB WDP XXII untuk "ngancani" menjadi Ketua I. Sebelumnya saya sudah mengiyakan lobi dari Ndower (Koor Sie Sepakbola) untuk menjadi Ketua Gatel di tahun itu, tapi demi PTB saya lepas mandat itu dan kalau tidak salah kemudian digantikan oleh Wahyu Anggit. Ok lanjut, ini info tidak relevan dengan topik tulisan.

Menjadi suatu hal yang biasa di SMA kami saat itu, dimana sekelompok Panitia Inti Program Umum OBTB sering melakukan Rapat Pulsek sampai sore atau bahkan malam (biasanya yang sampai malam hanya 3 Ketua, saya, Imul dan Andi). Cukup sering rapat dilakukan tapi kita tetep jarang ketemu, kebetulan saya masih harus rutin ngajar Paskib alhasil sering skip rapat.

Dia selalu menyimpulkan bahwa saat kepanitiaan PTB nggak ada spesial-spesialnya kan? Justru itu.

Entah kenapa, mungkin sudah bawaan, saya ada ketertarikan khusus dengan perempuan "berisi" dan manis pastinya. Hal ini pula yang mendasari meskipun saya tidak begitu akrab dengannya tapi cukup sering saya ngecengin, donat berkaki, awas "ngko ngglinding" dan lain sebagainya. Beberapa kali, dan itu ternyata membekas.

===

Lagi.

Saya lupa kapan persisnya, sepertinya saat saya kelas XII, permen fox 1 kaleng yang merupakan kado dari dia aku jadikan gantungan tas sekolah. Tidak ada yang dimaksudkan ke arah manapun, tapi kembali itulah yang justru menarik, hal yang terjadi saat itu, mengalir begitu saja.

Disaat masa-masa saya menunggu pengumuman kelulusan, tahun 2008, karena cukup lama saat itu lebih dari 1 bulan, lagi-lagi saya tidak begitu ingat persis apa yang detil terjadi, hanya saja di suatu hari di tengah-tengah saya mencari kesibukan sebagai pegawai freelance (waiter di sebuah restoran yang dikelola Bapak) saya memutuskan untuk mengirim sebuah text message kepadanya, belum jamannya WA saat itu. Menarik jika dibaca lagi isi text nya. Isi text itu lah yang sebenarnya mendasari cerita makan Jeko di Mekdi.

Lulus SMA terlewati, kami lanjut berkuliah di kampus yang sama namun berbeda fakultas. Saya disibukkan dengan kegiatan robotika, kalau dia, sepanjang yang saya tahu, kesibukannya di Buletin Fakultas dan PSM. Komunikasi antara saya dan dia masih ada-ada saja, seingatku saat itu pakai YM. Ya obrolan biasa, sesekali. Tapi ada.

2011 saat menjelang semester akhir, dia jadi penonton saat saya lomba robot di GSP (saya yang kasih slot tiket, meski kemudian tim saya kalah di perempat final), berlanjut kami ngobrol sesekali dan ya lagi-lagi ternyata dia masih ada di benak saya. Dia tidak hilang.

Kita sama-sama berjalan begitu saja, kita (semoga dia juga) bukanlah tergolong orang yang mendambakan secara hiperbolis makna cinta. Kita saling suka, ada ketertarikan.

Mungkin memang tulisan ini tidak menarik karena tidak ada klimaks ataupun alur yang mengagetkan dalam runutan sebagaimana tulisan-tulisan pada umumnya. Tidak ada konflik, tidak ada apa-apa. Tapi garis bawah simpulan yang menjadikan kisah ini menarik bagi saya justru itu. "Persistence". Tidak harus mempunyai hubungan yang mengagetkan, atraktif. Cukup persistence, selalu ada, tidak pernah hilang.

===

Kita saling melengkapi, banyak yang tidak ada di saya, tapi ada di dia. Dan sebaliknya.

You are Thirty Two, No matter what I'm still Loving you

The art of love is largely the art of persistence ~Albert Ellis




Tidak ada komentar:

Posting Komentar